Emak hanya ingin disayang
Plap plap plap.
Terdengar suara sendal beradu dengan tanah basah. Hujan memang turun tidak deras tetapi awet sejak azan pertama tahajjud di mesjid hingga semburat pagi keemasan. Di kampung ini masyarakat terbiasa dengan azan sebelum waktu subuh ditunaikan. Pertama sekali pindah mengikuti suami bertugas ke daerah ini, aku sempat kaget saat melihat azan terdengar di jam 3 pagi. Kufikir jam dinding hello Kitty kesayanganku rusak hari itu. Lama-lama mulai terbiasa dan sempat kehilangan saat kami mudik kerumah orangtuaku. Di kota, nuansa seperti ini mulai jarang ditemukan.
Ah iya, pasti itu suara sendalnya Mak Kasih. Perempuan senja bersongkok, tetangga kami yang tinggal di ujung dusun. Usianya hampir 70 tahun namun masih perkasa dibandingkan kerabat kami yang tinggal di kota. Ia hidup sendiri di rumah tua yang bahkan tak terlihat lagi warna catnya. Rumah yang cukup bagus sebenarnya untuk ukuran rumah di dusun. Bangunannya sudah menggunakan bata permanen. Tidak seperti beberapa rumah lainnya disini yang masih setengah batu. Dari lantai yang terbuat dari tegel aku prediksi rumah itu dibangun sekitar tahun 70an. Persis seperti rumah orangtuaku.
Sosok Mak Kasih baru beberapa bulan ini akrab di netraku. Padahal hampir 2 tahun kami menetap di daerah ini. Ia hampir jarang mengeluarkan suara. Bukan, bukan karena ia bisu. Tapi memang ia cukup pendiam. Mengenalnya pertama kali karena dikenalkan oleh Nek Mi. Nek Mi adalah bude dari Mas Wanto asisten suamiku.
"Sih, bantu Riani ya. Sebulan dua bulan sampai betul-betul bisa aktivitas mandiri," ujar Nek Mi.
Mak Kasih tersenyum sambil mengangguk.
Sepanjang ia membantu di rumahku ia juga tidak banyak bicara. Bahkan tidak mengetuk pintu kamarku saat ingin menyuguhkan wedang jamu yang ia ramu. Setia menunggu di dekat pintu kamar, menunggu aku keluar kamar.
"Lho, kok tidak manggil Mak?" Tanyaku gupuh.
"Barangkali sedang istirahat," ia menjawab sambil tersenyum.
"Tidak apa-apa Mak. Lain kali panggil saja. Manatau saya udah pingsan di kamar," jawabku sambil berkelakar.
Mak Kasih hanya mengangguk lalu berlalu ke dapur.
Dapur kami terasa hangat dengan sentuhan tangannya. Aku memang jarang sekali membuka jendela yang terletak di dapur basah. Sejak Mak Kasih hadir, sinar matahari berlomba masuk kedalam ruangan. Ia berikan sedikit kain yang ia jahit untuk menutup sedikit celah jendela agar tidak mudah terlihat dari halaman belakang. Ia tahu aku menjaga auratku agar tak terlihat dari orang yang berlalu lalang dari teras belakang.
"Mak, sesekali tidur disini aja," tawarku suatu hari.
Mak Kasih tersenyum dan sejenak kemudian ia menggelengkan kepalanya. Ia tak terbiasa tinggal di rumah selain rumahnya sendiri. Kuduga banyak kenangan yang ia simpan bersama bangunan tua itu. Aku tak memaksa.
Ah iya. Aku bergegas ke teras depan. Kuatir langkah Mak Kasih semakin jauh dari rumah kami. Kuputar kenop pintu lalu melangkah menuju teras.
Langkah itu ternyata bukan miliknya. Mbak Siti tetangga dekat Mak Kasih berjalan sedikit berjingkat karena beceknya jalan setapak. Ia tampak kaget saat tiba-tiba kusapa.
"Waduh, saya kaget Mbak Riani," ujarnya sambil membetulkan posisi kerudung.
"Buru-buru sekali Mba...
Mau kemana?," Tanyaku sambil tersenyum melihatnya.
"Mau manggil Mas Yanto," jawabnya spontan.
"Lah, siapa yang sakit Mba?," Tanyaku kaget.
Mas Yanto adalah saudara kandung mas Wanto, seorang dokter. Ia asli putera daerah yang mengabdi kembali setelah menyelesaikan pendidikannya di kota. Di kampung ini, ia sering dipanggil warga untuk mengunjungi lansia yang sudah tak mampu lagi berobat ke unit layanan kesehatan.
"Mak Kasih tiba-tiba pingsan, Bu Riani," jawab Mbak Siti.
Deg. Kemarin ia tampak baik-baik saja saat izin pulang lebih awal dari rumahku. Ia terlihat sehat. Pun kulihat matanya sangat berbinar apalagi saat ia katakan anak-anaknya akan datang menjenguknya. Ada apa dengan Mak Kasih.
"Ya udah mbak, silakan ke Mas Yanto. Biar saya ke rumah Mak Kasih," ucapku spontan.
"Mari, Bu," pamit mba Siti.
Aku mengganti jilbab kaus lalu mengenakan sendal, berjalan menuju pintu. Masih dengan rasa penasaran sekaligus iba pada sosok renta yang tak banyak bicara itu, menebak penyebab sakitnya ia. Kuputar kenop lalu meraih kunci. Sambil melangkah menuju badan jalan kupencet tombol telepon seluler dan menghubungi Bang Randi, suamiku. Mengabarkan bahwa aku berada di rumah Mak Kasih agar ia bisa mengakses keberadaanku.
Tok tok, kuketuk pintu sambil mengucapkan salam. Tidak ada sahutan. Aku masuk ke dalam melihat sosok tua tergeletak di atas dipan bersama gadis cilik mba Siti yang duduk disebelahnya.
"Mbah masih belum sadar ya nduk,?" Tanyaku.
Gadis itu mengangguk.
Kuraba tubuhnya basah dan dingin.
Aku mengambil sehelai sarung dan baju ganti agar ia tak lama mengenakan pakaiannya yang basah. Tak lama pintu diketuk kembali dan Mba Siti masuk bersama Mas Yanto.
"Saya periksa dulu ya Mba," izin Mas Yanto mengisyaratkan agar aku beralih ke belakang.
Aku mundur mempersilakan Mas Yanto. Beberapa waktu ia menggerakkan stetoskop, meraba nadi dan memompa alat pengukur tekanan darah. Dahinya berkerut. Tampak tegang. Lalu dilepasnya alat dari telinga.
"Innalilahi wa innailaihi rojiun...," Lirih ia berkata lalu beranjak dari sisi dipan.
"Saya menghubungi perangkat desa dulu mba," pamitnya keluar dari pintu.
Inalillahi wa Inna ilaihi Raji'un.
Sungguh mataku nanar tak percaya sosok kuat ini telah berpulang. Ia memang tak banyak bicara, tapi sangat perhatian dan bersahaja.
Terdengar isak Mbak Siti.
"Kemarin saat anak mantune Mak'e datang, aku dengar suara Mak'e nangis. Tidak lama kemudian mereka keluar dari rumah ini dan tidak kembali lagi," lirih suara Mbak Siti bertutur.
Kukemas beberapa benda di dekat dipan agar mudah membersihkan Mak Kasih. Sambil berbenah kutemukan sebuah map coklat lusuh. Perlahan kubuka, secarik kertas dengan aksara bersambung. Kueja perlahan sambil menahan ledakan bening yang menerobos ke sudut mata.
Tuhan,
Sejak kecil tak kutemukan sayang dari ayah yang telah berpulang.
Sayang pun sirna ketika ibu menyusul ayah di haribaan.
Menginjak dewasa, kukira menemukan sayang dari sosok pria yang kucinta.
Nyatanya sayang pun tak hendak menyapa.
Pada sosok kanak-kanak yang kuhujani cinta, berharap kupanen rasa sayang menjelang senja.
Masih saja asa sirna.
Tuhan, bila tiada yang sayang padaku di dunia.
Kuyakin engkau tetap tulus menyayangi hamba.
Genapkan rasa sayang agar senyuman tetap mengembang kala hamba berpulang
Epilog
Dua bulan sudah Mak Kasih dimakamkan penduduk desa. Sepekan setelah ia berpulang kedua anak dan menantunya datang ke desa mengurus administrasi dan rumah yang ditinggali Mak Kasih.
hiks auto mewek bacanya mbak, bagus sekali ceritanya, hanya perhatian dan rasa sayang yang diperlukan orang tua, semoga saya dimampukan untuk merawat orang tua yang saat ini masih menemani saya
BalasHapusKok sedih ya mbak, baca kisah dari Mak Kasih. Sesungguhnya beliau hanya menginginkan kasih sayang. Mungkin Allah SWT yang sangat menyayangi Mak Kasih sehingga mengambil Beliau di waktu yang tepat. Sedih banget pas baca surat beliau
BalasHapusAnak mantunya datang sepekan setelah kematian? Sungguh menyedihkan hanya properti dan lahan yang diinginkan tanpa memberi cinta yang diharapkan.
BalasHapusSemoga saat umur kita sudah renta anak-anak tetap mengabdi sepenuh cinta kepada orang tua mereka. Aamiin. 🤲
Kalau ada apa-apa dengan kita, tetanggalah yang pertama membantu. Maka sudah selayaknya kita berbuat baik pada tetangga.
BalasHapusAuto super duper sedihh tak terhingga...sepertinya ada kisah nyata spt ini smg kalau beneran nyata, Allah menempatkan di surga yg indah. (Gusti yeni)
BalasHapusKisahnya menyentuh sekali kak. Rasanya jadi ingat Almarhumah Ibu. Sejatinya orang tua itu tidak muluk-muluk, hanya menginginkan anaknya ingat bahwa mereka ada. Bukan uang atau harta, tapi perhatian dari anak cucunya. ❤️
BalasHapusBaca ini jadi haruu, sedih, ingat macam macam.. terutama orang tua yang jauh berjarak dari saya.. tapi sebenarnya ada semangat dan nilai besar di sini: yaitu kita tak perlu putus asa tak dapat kasih sayang, karena selalu ada Allah yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang.. (terimakasih telah memberi ingatan untuk diri saya)
BalasHapusSaya tertegun baca alinea terakhirnya. Kenapa anak dan menantunya baru datang sepekan setelahnya ya? Lansia itu idealnya ada yang jaga. Saya teringat nenek saya (kini almarhum), usianya 90. Anak dan cucunya walau tinggal di luar kota datang bergantian menjaga dan merawat hingga saat terakhirnya.
BalasHapusTes
BalasHapusOnly one word for this story. Very good
BalasHapusYa Allah, nyesak banget bacanya. Jangan sampai ya, kita tuanya kayak Mak Kasih. Saya selalu berdoa, anak2 akan menjaga saya saat tua,walaupun mereka sudah berkeluarga. Aamiin
BalasHapusPelajaran moralnya ngena banget ini kak reminder buat aku juga sebagai anak
BalasHapus