Kisah Maaf dan menemukan ikhlas
Karena bila berbicara tentang penerimaan yang tulus, hanya yang bersangkutan lah yang tau seberapa ikhlas dia telah berdamai dengan sesuatu- Tere Liye
Mengurai Lembar Luka
Aku berada di persimpangan rasa. Gamang. Kerinduan untuk kembali pulang ke tempat itu tidak sebanding dengan luka yang terlanjur mengakar. Seperti keloid.
"Pulanglah, "pinta Ibu lirih lewat sambungan telepon.
Aku masih diam mendengarkan Ibu sambil mengawasi anak-anak berlarian di samping rumah. Kontrakan yang aku tempati beberapa bulan ini memang tergolong luas. Sebanding dengan biaya yang harus kami keluarkan untuk rumah dengan tiga ruang tidur.
Ini bukan rumah kontrakan pertama yang kami tempati setelah keluar dari rumah. Sebelumnya kami telah menyelesaikan satu tahun masa sewa kontrak di sebuah petakan yang berjarak 30 kilometer dari rumah.
Pulang.
Pinta Ibu terus bergema menembus memori tentang bangunan yang telah aku tempati sejak sepuluh tahunan lalu. Rumah tua setengah batu berdinding tepas yang beberapa tahun kemudian berproses menjadi bangunan tiga lantai.
Sudah enam putra menemani hari-hariku di bangunan yang aku sebut rumah. Bersamanya, menemani kehidupan keluarga kami.
Hingga suatu ketika...
"Mungkin sebaiknya tidak tinggal bersama lagi," suaraku lirih dengan tangis yang tertahan.
"Lalu bunda mau nya bagaimana?," tanya sosok pria, ayah dari putra-putri kami.
"Bunda harap, kita saja yang mengalah. Kita keluar," jawabku dengan tangis yang akhirnya pecah.
Aku tahu dengan kegalauan yang sama suami mencoba menenangkanku juga hatinya. Pergi dengan kondisi keuangan yang terbatas tentunya tidak mudah. Ditambah membawa enam anak dan perempuan hamil muda.
Iya, saat itu aku sedang mengandung putri ketujuh. Kebahagiaan yang berbanding terbalik dengan respon yang kami terima darinya. Walau ia hidup bersama.
Tidak, tak ada rasa gentar dan penolakan karena kehamilan ini. Ini anugerah. Walau banyak serapah terucap tak hanya lewat lisan, juga grafiti pada dinding kamar di lantai tiga.
"Tidak sehat bila kami tinggal bersama, " ucapku saat berpamitan pada ibu.
"Anak-anak membaca banyak kata-kata yang tidak layak. Kami tidak ingin mereka mengendus ketidakberesan yang membuat tumbuh bibit benci," sambungku lagi.
Ibu mengangguk. Lalu melepas kami pasrah.
Dua tahun tidak sekalipun kami berkunjung ke rumah walaupun berdampingan saat sowan ke rumah ibu.
Kholas
"Dia sudah bukan dirinya yang lalu.
Datanglah, siapa tahu bisa merelease dan menyembuhkan luka hatimu," ujar salah seorang saudariku.
Entahlah, aku tak yakin bisa mengobati luka itu dengan mudah. Aku sudah memaafkan. Namun entah mengapa memori luka itu terus saja berputar.
"Ia sakit, berkunjunglah," kembali ajakan mereka datang.
Aku menggeleng. Aku belum siap. Ada trauma yang membekas dan tak mudah aku hilangkan walau telah aku coba.
Lepas Dhuha, mentari sudah mulai tajam menyengat. Aku melangkahkan kaki menuju rumah. Melihat ia dari celah pintu berkawat halus.
Jantungku berdetak kencang. Melihat ia yang telah kepayahan. Rasanya ingin aku berseru
"Mari hadapi aku. Bukankah kematian itu yang selalu engkau harapkan dariku. Ayo bangkit, jangan duduk lesu. Kita baku hantam, saling membalas hingga berdarah karena tajamnya kata,
Jangan. Jangan tak berdaya seperti ini,"
Emosiku menggelegak.
Sedihku memuncak.
Aku kalah. Kalah pada rasa marah dan benci yang selama ini menyelimuti. Kupegang hati. Ajaib. Ia tak lagi luka. Kemana luka itu.
Perlahan aku mendekat. Kuusap punggungnya lalu berkata perlahan pada sosok tubuh itu.
"Sudah. Aku sudah maafkan. Aku sudah ikhlaskan,"
Gumam salawat mengalun lirih.
Shalallahu 'ala Muhammad.
Shalallahu alaihi wasallam
Shalallahu'ala Muhammad
Shalallahu alaihi wasallam
Hanya ada dua pilihan untuk memenangkan kehidupan: keberanian, atau keikhlasan. Jika tidak berani, ikhlaslah menerimanya. Jika tidak ikhlas, beranilah mengubahnya- Lenang Manggala
baguuuus
BalasHapustapi masih teka-teki, siapa yang dimaafkan dalam cerita ini.
Ibu? jelas bukan karena ibu meminta pulang
duh, aku jadi penasaran
Ini cerita sekilas tapi beneran menarik perhatian, soaolnya kita jadi bertanya tanya siapa tokoh yang tidak disukai dan peristiwa apa yang telah menimpanya
BalasHapusPertanyaan saya jika sudah memaafkan seseorang karena perbuatan jahatnya dimasa lalu..apakah sekaligus bisa melupakan peristiwa masa lalu yg kelam mba?
BalasHapusMasih penasaran nih siapa dia? Tapi yg pasti ikhlas itu sulit ya. Mungkin bibir udah bilang memaafkan tapi hati rasanya kalau saya susah hehehe
BalasHapusmasyaallah tabarakallah kak, berbicara soal ikhlas itu ga segampang yang orang ucap dan itu butuh kekuatan bathin yang saya alami ya. dan terkahir baca sholawatnya, saya suka sholawat ini mba awal sholawat jibril
BalasHapusAlhamdulillah sudah released. Selesai, karena Allah selalu memberi banyak hikmah buat kita. Bahkan dari hal yang paling ingin kita hindari
BalasHapusAku pilih berani dan ikhlas juga. Ada hal-hal yang tak selesai dengan diikhlaskan saja. Dibutuhkan keberanian supaya tidak terus menerus diijak-injak
BalasHapusIkhlas itu seperti buang air besar. Tak perlu diingat. Begitu juga dengan memaafkan. Kalau ada dendam, bukan memaafkan. Semangat, kak
BalasHapusLah pengandaian yang waaaawwwwww......
HapusRasanya saya pernah diceritain soal ini bun...
Benarkan soal 'itu"
Tapi Alhamdulillah sudah berhasil ikhlas Bun...
selalu suka dengan kutipan dari Lenang Manggala seperti yang ada di akhir ppstingan ini, keberanian dan keikhlasan sebenarnya sangat tipis. Maaf dan ikhlas bisa membutuhkan banyak waktu ya, entah menunggu siap, atau kita yang bersiap terlebih dahulu
BalasHapusBab ikhlas masuk pelajaran yang paling susah dan belajarnya seumur hidup yaa. Sampai sekarang saya juga masih belajar. bagus banget ibrah dari kisah ini mbaa
BalasHapuskak, kakak nulis di KBM juga nggak? Berasa ngebaca serial di jejeran novel di sana. Banyak yang laris. Hiks … Ikhlasnya karena Allah, jadi mau seburuk apa pun yang ada di hadapan kita jatuhnya lapang dan tenang. Enggak ada yang bisa membayar ketenangan itu semua dan caranya adalah dengan memafkan keadaan setelah memaafkan diri kita.
BalasHapusPerjalanan mencapai maaf dan ikhlas itu memang berat ya mba. Maaf itu gak semudah kita mengucapkannya.
BalasHapus